TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
1.
Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata
lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal
kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil
interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu
jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, siswa
belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat dan gurunya
sudah mengajarkan dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat
mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia
belum dapat menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. STIMULUS
adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar
perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu
belajar siswa, sedangkan RESPON adalah reaksi atau
tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus
dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan
tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respons. Oleh
sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang
dihasilkan siswa (respons), semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur.
Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang
penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Faktor
lain yang juga dianggap penting oleh aliran behaviotistik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Penguatan adalah apa saja
yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin
kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement)
responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika siswa diberi tugas
oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya.
Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive reinforcement) dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini
justru meningkatkan aktivitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan penguatan
negatif (negative reinforcement) dalam belajar. Jadi
penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan)
atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respons.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,
Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner. Pada dasarnya para penganut
aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar di atas, namun ada
beberapa perbedaan pendapat di antara mereka.
1.
Teori Belajar Menurut Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan siswa
ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike
perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berujud kongkrit
yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun
ia tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku-tingkah laku
yang tidak dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran
dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori Thorndike ini
disebut juga sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism).
2.
Teori Belajar Menurut (1878-1958)
Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang
sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah
laku yang dapat diamati (observabel) dan
dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia
menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia
tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting,
namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau
belum karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu
lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman
empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan dapat diukur. Asumsinya bahwa,
hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat diramalkan perubahan-perubahan
apa yang bakal terjadi setelah seseorang melakukan tindak belajar. Pemikiran
Watson (Collin, dkk: 2012) dapat digambarkan sebagai berikut:
Para tokoh aliran behavioristik cenderung untuk tidak
memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti
perubahan-perubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian
mereka tetap mengakui hal itu penting.
3.
Teori Belajar Menurut Clark Leaonard Hull (1884-1952)
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan
respon untuk menjelaskan pengrtian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh
oleh teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya
teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan
hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis
dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral
dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir
selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul
mungkin dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam kenyataannya, teori-teori
demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan praktis, terutama setelah Skinner
memperkenalkan teorinya. Namun teori ini masih sering dipergunakan dalam
berbagai eksperimen di laboratorium.
5.
Teori Belajar Menurut Edwin Ray Guthrie (1886-1959)
Demikian juga dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan variabel hubungan
stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun ia
mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan
biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark dan Hull. Dijelaskannya bahwa
hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh
sebab itu dalam kegiatan belajar siswa perlu sesering mungkin diberikan
stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Ia juga
mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap,
maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon
tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang
peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang
tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun setelah
Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcemant) dalam teori belajarnya,
maka hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar.
6.Teori
Belajar Menurut Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)
Skinner merupakan tokoh behavioristik yang paling banyak
dipebincangkan, konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar
mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat
menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif.
Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan
respon yang terjadi melalui interaksi dalam
lingkungannya akan menimbulkan perubahan tingkah laku.
Pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang
akan saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi
bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang dimunculkan
inipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah
yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya
perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar,
perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya,
serta memahami respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang
mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab,
setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh
para guru dan pendidik. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinerlah
yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar
behavioristik. Programprogram pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul,
dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus–respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu
menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variable atau hal-hal
yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang tidak dapat diubah
menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Contohnya, seorang siswa akan
dapat belajar dengan baik setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi setelah
diberi stimulus lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak
mau belajar lagi. Di sinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik tidak
mampu menjelaskan alasanalasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan
respon ini. Namun teori behavioristik dapat mengganti stimulus satu dengan
stimulus lainnya dan seterusnya sampai respon yang diinginkan muncul. Namun
demikian, persoalannya adalah bahwa teori behavioristik tidak dapat menjawab
hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan
dengan responnya.
Sebagai contoh, motivasi sangat berpengaruh dalam proses belajar. Pandangan
behavioristik menjelaskan bahwa banyak siswa termotivasi pada kegiatan-kegiatan
di luar kelas (bermain video-game, berlatih atletik), tetapi tidak termotivasi
mengerjakan tugas-tugas sekolah. Siswa tersebut mendapatkan pengalaman
penguatan yang kuat pada kegiatan-kegiatan di luar pelajaran, tetapi tidak
mendapatkan penguatan dalam kegiatan belajar di kelas. Pandangan behavioristik
tidak sempurna, kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa,
walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak
dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman
penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran
berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya.
Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat
diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang
mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori
ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target
tertentu, sehingga menjadikan siswa untuk tidak bebas berkreasi dan
berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh dalam hidup ini yang mempengaruhi
proses belajar. Jadi pengertian belajar tidak sesederhana yang dilukiskan oleh
teori behavioristik. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik
memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Namun
apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative
reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk bebas berpikir
dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses
belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan
Guthrie, yaitu;
1)
Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku
sangat bersifat sementara.
2)
Dampak psikologis yang buruk mungkin akan
terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung
lama.
3)
Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain
(meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain,
hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala
lebih buruk dari pada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat
negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak
pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan
muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya,
seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika
sesuatu yang tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan)
dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguat negatif. Lawan dari
penguat negatif adalah penguat positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon.
Namun bedanya adalah bahwa penguat positif itu ditambah, sedangkan penguat
negatif adalah dikurangi agar memperkuat respons.
8.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan
teori dan praktek pendidikkan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulusresponnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respons atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara
tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement,
dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus-respon, individu atau
siswa pasif, perilaku sebagai hasil belajar yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur
yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih
merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada
penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti Kelompok
bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai di
Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai
dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan Aplikasi
teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti;
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan
adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa.
Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang
ada di dunia nyata telah tersetruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang
yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan
lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Siswa atau siswa adalah obyek yang harus berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri siswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian
isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau
akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Thorndike (Schunk,
2012) kemudian merumuskan peran yang harus dilakukan guru dalam proses
pembelajaran, yaitu:
1.
Membentuk kebiasaan siswa. Jangan berharap
kebiasaan itu akan terbentuk dengan sendirinya
2.
Berhati hati jangan smpai membentuk kebiasaan
yang nantinya harus diubah. Karena mengubah kebiasaan yang telah terbentuk
adalah hal yang sangat sulit.
3.
Jangan membentuk dua atau lebih kebiasaan, jika
satu kebiasaan saja sudah cukup
4.
Bentuklah kebiasaan dengan cara yang sesuai
dengan bagaimana kebiasaan itu akan digunakan.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil
test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar. Maksudnya,
bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar
dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya
dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi
pada kemampuan siswa secara individual. Salah satu contoh pembelajaran
behavioristik adalah pembelajaran terprogram (PI/Programmed
Instruction), dimana pembelajaran terprogram ini merupakan pengembangan dari
prinsip-prinsip pembelajaran Operant conditioning
yang di bawa oleh Skinner. Dalam Schunk (2012) PI melibatkan
beberapa prinsip pembelajaran. Dalam pembelajaran terprogram, materi dibagi menjadi
frame-frame secara berurutan yang setiap frame memberikan informasi dalam
potongan kecil dan dilengkapi dengan test yang akan direspon oleh siswa.
Pada jaman modern ini, aplikasi teori behavioristik berkembang
pada pembelajaran dengan powerpoint dan
multimedia. Dalam pembelajaran dengan powerpoint,
pembelajaran cenderung terjadi satu arah. Materi disampaikan dalam bentuk powerpoint yang telah disusun secara rinci. Sementara itu
pada pembelajaran dengan multimedia, siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama
dengan pengembang, materi disusun dengan perencanaan yang rinci dan ketat dengan
urutan yang jelas, latihan yang diberikan pun cenderung memiliki satu jawaban
benar. Feedback pada pembelajaran dengan multimedia cenderung diberikan
sebagai penguatan dalam setiap soal, hal ini serupa dengan program pembelajaran
yang pernah dikembangkan Skinner (Collin, 2012), dimana Skinner mengembangkan model pembelajaran yang disebut
“teaching machine” yang memberikan feedback kepada siswa bila memberikan jawaban benar dalam
setiap tahapan dari pertanyaan test, bukan sekedar feedback pada akhir test.
DAFTAR BACAAN
Asri
Budiningsih. 2003. Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta : Fakultas Ilmu
Pendidikan. Universitas
Negeri Yogyakarta
Biehler,
R.F. & Snowman, J. (1982). Psychology Applied
to Teaching, Fourth
edition, Boston: Houghton
Mifflin Company.
Collin,
Catherine, dkk. 2012. The Psychology Book. London: DK.
Dahar,
R. W., (1989). Teori-teori Belajar.
Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti,
P2LPTK.
Degeng,
I.N.S., (1989). Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variabel.
Jakarta:
Depdikbud, Dirjen Dikti,
P2LPTK.
Degeng
N.S., (1997). Pandangan Behavioristik vs
Konstruktivistik: Pemecahan
Masalah Belajar Abad
XXI. Malang: Makalah Seminar TEP.
Dimyati,
M, (1989). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud,
Dirjen Dikti,
P2LPTK
Gage,
N.L., & Berliner, D. (1979). Educational
Psychology. Second Edition,
Chicago: Rand McNally.
Raka
Joni, T. (1990). Cara belajar siswa aktif: CBSA:
artikulasi konseptual,
jabaran operasional,
dan verivikasi empirik. Pusat Penelitian IKIP Malang.
Ratna
Wilis D. (1996). Teori-teori Belajar.
Jakarta : Erlangga
Schunk,
Dale. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective. Edisi
keenam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Smaldino,
dkk. 2010. Instructional Technology and Media for Learning. 10th
edition. United State of
America: Pearson.
Smaldino,
dkk. 2012. Instructional Technology and Media for Learning. 11th
edition. United State of America: Pearson.
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
Tidak ada komentar:
Posting Komentar