Pembelajaran Abad 21
Dalam pandangan paradigma positivistik masyarakat berkembang
secara linier seiring dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri yang
ditopang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara
berturut-turut masyarakat berkembang dari masyarakat primitif, masyarakat
agraris, masyarakat industri, dan kemudian pada perkembangan lanjut menjadi
masyarakat informasi. Situasi abad 21 sering kali diidentikan dengan masyarakat
informasi tersebut, yang ditandai oleh munculnya fenomena masyarakat digital. Meneruskan
perkembangan masyarakat industri generasi pertama, sekarang ini, abad 21 dan
masa mendatang, muncul apa yang disebut sebagai revolusi industri 4.0.
Istilah industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada Hannover Fair
2011 yang ditandai revolusi digital. Revolusi industri gelombang keempat, yang
juga
disebut industri 4.0, kini telah tiba. Industry 4.0 adalah tren
terbaru teknologi yang sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar
terhadap proses produksi pada sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut
termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligent), perdagangan elektronik,
data raksasa, teknologi finansial, ekonomi berbagi, hingga penggunaan robot.
Bob Gordon dari Universitas Northwestern, seperti dikutip Paul Krugman (2013),
mencatat, sebelumnya telah terjadi tiga revolusi industri. Pertama,
ditemukannya mesin uap dan kereta api (1750-1830). Kedua, penemuan listrik,
alat komunikasi, kimia, dan minyak (1870-1900). Ketiga, penemuan komputer,
internet, dan telepon genggam (1960-sampai sekarang). Versi lain menyatakan,
revolusi ketiga dimulai pada 1969 melalui kemunculan teknologi informasi dan
komunikasi, serta mesin otomasi (dikutip dari A. Tony Prasentiantono, Kompas 10
April 2018, hal. 1).
Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat global, juga
berkembang sebagaimana alur linieristik tersebut, setidaknya dari sudut pandang
pemerintah sejak era Orde Baru. Akan tetapi pada kenyataannya kondisi
masyarakat Indonesia tidak sama dengan perkembangan pada masyarakat Barat yang
pernah mengalami era pencerahan dan masyarakat industri. Perkembangan
masyarakat Indonesia faktanya tidak secara linier, tetapi lebih berlangsung
secara pararel. Artinya, ada masyarakat yang hingga fase perkembangannya
sekarang masih menunjukkan masyarakat primitif, ada yang masih agraris, ada
yang sudah menunjukkan karakter sebagai masyarakat industrial, dan bahkan ada
yang memang sudah masuk dalam era digital. Semuanya kategori karakter
masyarakat tersebut faktanya berkembang tidak secara linier, tetapi berlangsung
secara pararel.
Oleh karena itu, meskipun era digital sudah begitu marak yang
ditandai oleh makin luasnya jangkauan internet; namun demikian ada juga
masyarakat yang masih belum terjangkau internet, dan bahkan masih berupa
wilayah blank spot. Kondisi seperti itu juga berimplikasi terhadap perkembangan
pelayanan pendidikan, sehingga juga berkonsekuensi terhadap karaktiristik guru
dan siswanya, meskipun sudah berada dalam abad 21. Sekolah, guru, dan siswa di
daerah perkotaan memang sudah terkoneksi jaringan internet, tetapi untuk daerah
pedesaan masih ada juga yang belum terambah oleh fasilitas internet, dan bahkan
ada pula wilayah yang sama
sekali belum terjangkau infrastruktur telekomunikasi. Akan tetapi
pada abad 21 sekarang ini masyarakat Indonesia memang sudah menjadi bagian
tidak terpisahkan dengan era digital. Karena itu apa pun harus menyesuaikan
dengan kehadiran era baru berbasis digital, sehingga bagaimana menjadi bagian
dari era digital sekarang ini dengan memanfaatkan teknologi digital dan
berjejaring ini secara produktif.
Menurut Manuel Castell kemunculan masyarakat informasional itu
ditandai dengan lima karateristik dasar: Pertama, ada teknologi-teknologi yang
bertindak berdasarkan informasi. Kedua, karena informasi adalah bagian dari
seluruh kegiatan manusia, teknologi-teknologi itu mempunyai efek yang meresap.
Ketiga, semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh
‘logika jaringan’ yang memungkinkan mereka memengaruhi suatu varietas luas
proses-proses dan organisasi-organisasi. Keempat, teknologi-teknologi baru
sangat fleksibel, memungkinkan mereka beradaptasi dan berubah secara
terus-menerus. Akhirnya, teknologi-teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan
informasi sedang bergabung menjadi suatu sistem yang sangat terintegrasi (dalam
Ritzer, 2012: 969).
Menurut Castell sebenarnya sudah sejak dekade 1980-an muncul apa
yang ia sebut sebagai ekonomi informasional global baru yang semakin
menguntungkan. “Ia informasional karena produktivitas dan daya saing unit-unit
atau agen-agen di dalam ekonomi ini (entah itu firma-firma, region-region, atau
wilayah-wilayah) yang tergantung secara fundamental pada kapsitas mereka untuk
menghasilkan, memproses, dan menerapkan secara efisien informasi berbasis
pengetahuan (Castell, 1996: 66). Ia global karena ia mempunyai “kapasitas untuk
bekerja sebagai suatu unit di dalam waktu nyata pada suatu skala planeter”
(Castell, 1996: 92). Hal itu dimungkinkan untuk pertama kalinya oleh kehadiran
teknologi informasi dan komunikasi yang baru.
Meneruskan konsep ruang mengalir itu, kemudian Scott Lash
menganalisis kemunculan masyarakat informasional itu secara lebih mendalam,
detail, dan canggih. Sama seperti Castells, Lash setuju dengan kemunculan dunia
baru, yaitu masyarakat informasional yang meskipun merupakan kelanjutan dari
kapitalisme lama, tetapi memiliki berbagai karakter yang berbeda. Dengan
pendekatan kritis, Lash menganalisis kapitalisme informasional dengan berusaha
memperluasnya
terkait dengan filsafat, teori sosiologi, teori kebudayaan, baik
klasik maupun kontemporer.
Dalam bukunya Critique of Information (2002), Lash memului dengan
sejumlah pertanyaan mendasar, bagaimana ilmu sosial kritis, teori kritik atau
kritik dapat dimungkinkan dalam masyarakat informasi? Apa yang terjadi dalam
suatu era ketika kekuasaan tidak lagi sebuah ideologi sebagaimana era abad
sembilanbelas, tetapi sekarang kekuasaan adalah sebuah informasional dalam arti
luas? Ketika era sebelumnya ideologi diperluas oleh ruang dan waktu, mengklaim
universalitas, dan berbentuk ‘metanaratif’, merupakan sistem kepercayaan, dan
menyediakan waktu untuk refleksi; tetapi sekarang era informasional, ketika
informasi itu berada dalam kemampatan ruang dan waktu, tidak mengklaim
universal, dan sekadar titik, sinyal, dan bahkan sekadar peristiwa dalam waktu.
Berlangsung sangat cepat, sekilas, hidup dalam era informasi hampir tidak ada
waktu untuk refleksi. Jadi ketika ilmu sosial kritik hidup dan berkembang dalam
era ideologi kritik, apa yang terjadi ketika ilmu sosial kritik hidup dalam era
informasinal kritik? Dapatkah pemikiran kritis beroperasi dalam era informasi?
Meskipun Lash adakalanya merujuk pada Castells, tetapi dalam
mendefinisikan informasi sedikit berbeda. Ia mengaku: “saya akan memahami
masyarakat informasi berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh Bell (1973),
Touraine (1974), dan Castells (1996) yang fokus pada kualitas karakter utama
informasi itu sendiri. Tetapi Menurut Lash informasi harus dipahami secara
tajam dalam kontradiksinya dengan yang lain, kategori sosiokultural awal, yaitu
sebagai monumen naratif dan wacana (discourse) atau institusi. Karakter utama
informasi adalah aliran, tak melekat, kemampatan spasial, kemampatan temporal,
hubungan-hubungan real-time. Informasi tidaklah secara eksklusif, tetapi
sebagian besar, dalam kaitan ini bahwa kita hidup dalam era informasi. Sebagian
orang menyebut kita hidup dalam jaman modern lanjut (Giddens, 1990), sementara
yang lain menyebutnya sebagai jaman postmodern (Harvey, 1989), tetapi konsep
tersebut menurut Lash juga tidak berbentuk. Informasi tidak.
Lash memahami masyarakat informasi berbeda dengan apa yang sering
dirumuskan oleh kalangan sosiolog. Masyarakat informasi sering dipahami dalam
istilah produksi pengetahuan-intensif dan postindustrial di mana
barang dan layanan diproduksi. Kunci untuk memahami ini adalah apa yang
diproduksi dalam produksi informasi bukanlah barang-barang dan layanan kekayaan
informasi, tetapi lebih kurang adalah potongan informasi di luar kontrol.
Produksi informasi meliputi terutama adalah pentinggnya kemampatan. Sebagaimana
diktum McLuhan medium adalah pesan dalam pengertian bahwa media adalah
peradigma medium era informasi. Hanya saja jika dahulu medium dominan adalah
naratif, lirik puisi, wacana, dan lukisan. Tetapi sekarang pesan itu adalah
pesan atau ‘komunikasi.’ media sekarang lebih seperti potongan-potongan. Media
telah dimampatkan.
Lash mengingatkan bahwa infomasi itu sendiri bersifat statis,
komunikasiah yang membuat informasi menjadi dinamik, kuat, dan sumber energi.
Mirip dengan Habermas, Lash yakin bahwa komunikasi itulah yang sekarang telah
menjadi basis kehidupan sosial kontemporer, karena itu ia menjadikan komunikasi
sebagai unit dasar analisisnya, dan bukan informasi. Lash kemudian melangkah
lebih jauh dengan mengembangkan konsep di seputar isu perkembangan ICT. Ketika
ICT itu sendiri sering diposisikan sebagai entitas tersendiri yang berbeda
dengan karakter-karakter masyarakat sebelumnya dengan titik berat pada produksi
industrial, maka Lash menjelaskan bahwa dalam kategori era ICT itu sendiri
telah berkembang dengan karakter yang berbeda. Oleh karena itu ia mengatakan
bahwa telah terjadi dua generasi dalam perkembangan ICT.
Generasi pertama perkembangan ICT secara fundamental adalah
informasional, dengan sektor kuncinya adalah semikonduktor, sofware (sistem
operasi dan aplikasi), dan komputer. Akan tetapi generasi kedua, ekonomi baru
adalah komunikasional, karena itu sentralitasnya adalah internet dan sektor
jaringan. Itulah sebabnya menurut Lash, Cisco Systems, yang membuat sarana
jalan, sebagai ‘pipa’ komunikasi internet, yang menjadi kapitalisme pasar lebih
tinggi daripada ‘informational’ Microsoft. Inilah yang dikenal sebagai
pasangnya media baru (new media). Dalam pada itu konten dan komunikasi adalah
sepenting kode, bukan berbasis pada sektor kode informasi. Jika ICT generasi
pertama sangat erat berurusan dengan Lembah Silokan California, maka ICT
generasi kedua bukan perkara segar, bersih, dan semi desa Lembah Silokan,
tetapi berurusan dengan kotor,
urban ‘silicon allys’. Silicon allys telah menjadi multimedia baru
seperti CD-ROMs, permainan komputer (Allen, Scott, 2000). Mereka adalah
multimedia konvergensi teknologi informasi dengan media.
Sikap Lash terhadap topik diskusi tersebut tetap menegaskan bahwa
unit dasar analisisnya adalah kmunikasi. Komunikasi adalah pertanyaan soal
kultur jarak jauh. Dalam masyarakat industri dulu hubungan-hubungan sosial
diletakan pada suatu tempat dengan prinsip kedekatan, dan hubungan sosial pada
saat yang sama sekaligus adalah ikatan sosial. Akan tetapi sekarang, dalam era
informasional, hubungan sosial dipindahkan oleh komunikasi. Komunikasi adalah
intens, dalam durasi pendek. Komunikasi memecah naratif menjadi pesan
pendek/ringkas. Jika hubungan sosial lama menempatkan tempat dengan prinsip
kedekatan, ikatan komunikasional adalah meletakan tempat pada jarak jauh. Jadi,
komunikasi adalah tentang kebudayaan, bukan kedekatan, yaitu kebudayaan jarak
jauh. Culture at-a-distance meliputi baik komunikasi yang datang dari jauh
maupun orang datang dari jauh agar bertemu secara tatap muka (Boden and
Molotch, 1994). Intensitas, keringkasan, dan ketidakhadiran kontinyuitas
naratif adalah prinsip tata kelolanya (Simmel, 1971; Sennett, 1998).
Suatu komunikasi dan aliran diletakan pada panggung pusat,
daripada aturan sosial dan lembaga/struktur. Sosiologi berargumen lebih
progresif lagi, yaitu bahwa sekarang ini secara umum telah muncul fenomena
mediologi. Oleh karena itu sekarang ini diberbagai universitas terkemuka di
dunia telah mengenalkan dan mengajarkan tentang sosiologi media. Khususnya
sekarang ini telah muncul apa yang dikenal sebagai logika mediologi. Mediologi
akan mengharuskan bekerja dengan logika media dan komunikasi. Jika sosiologi
Durkheimian mengenalkan konsep anomie, untuk menjelaskan perubahan dari
feodalisme ke kapitalisme pabrik, sekarang mediologi, berbicara anomie
postindustri aliran-aliran. Sosiologi setuju dengan re-teritorialisasi sosial,
institusi modern, dan struktur masyarakat industri. Mediologi berbicara re-teritorialisasi
masyarakat jaringan yang datang dari pengerasan aliran-aliran. Maka pada saat
yang sama sekarang muncul fenomena ekonomi tanda dan ruang.
Begitulah, menurut Lash, dalam masyarakat kapitalisme lanjut,
komunikasi adalah kunci, pergeseran dari logika struktur ke logika arus yang
dimungkinkan oleh jangkauan hubungan yang dibawa oleh outsorcing pada umumnya.
Dan outsorcing ini adalah re-teritorialisasi, misalnya perusahaan-perusahaan
menjadi lebih bisa dikerjakan di rumah tangga. Bahkan kemudian ada perusahaan
membolehkan kerja lembur per minggu di rumah, jadi tidak tergantung pada tempat
atau ruang pabrik. Jadi sekarang ini di jaman tata informasi dan komunikasi
global, semuanya serba outsorcing baik kerja di perusahaan firma, keluarga,
negara, dan bahkan juga pada bidang seni. Karena itu bisa juga refleksivitas di
outsourced, dan di eksternalisasi. Sekarang ini juga ada pergeseran dari
akumulasi ke sirkulasi. Namun demikian juga muncul apa yang disebut sebagai
hegemoni sirkulasi di mana sirkulasi modal uang dipisahkan dari bagian
akumulasi modal.
1. Masyarakat Informasional di Indonesia
Pada fase masyarakat industrial fokus utama adalah bagaimana
masyarakat dengan segenap penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berusaha
mengolah bahan baku yang disediakan oleh alam menjadi komoditas yang berpotensi
meningkatkan kualitas hidup. Akan tetapi sekarang ini, ketika memasuki era
masyarakat informasional, bukan lagi perkara bagaimana berproduksi untuk
akumulasi kapital, akan tetapi bagaimana penguasaan dan kemampuan mengolah
informasi sebagai sumber daya utama untuk meningkatkan kualitas hidup.
Sekarang ini banyak yang sepakat bahwa masyarakat Indonesia
mengalami transisi dari masyarakat offline menuju masyarakat online. Ini
mengindikasikan bahwa masyarakat informasional dan komunikasional juga telah
hadir yang siapa pun tidak bisa menolaknya. Dengan kata lain, kehadiran
masyarakat informasional ini sudah merupakan imperatif, atau sebuah
keniscayaan. Hampir seluruh aspek kehidupan dalam bermasyarakat mulai dari
aspek ekonomi, politik, kebudayan, dan sosial-budaya terambah oleh moda-moda
informasional dan komunikasional. Sekarang ini informasi tidak lagi mewujud
dalam bentuk pengetahuan yang terdokumentasi secara padat seperti barang-barang
cetakan, tetapi telah berubah menjadi serba digital. Proses digitalisasi
terjadi dalam berbagai aspek kehidupan
manusia yang tentu saja berimplikasi terhadap perubahan nilai,
cara pandang, dan pola-pola perilaku masyarakat.
Dari data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),
penetrasi internet di Indonesia mencapai 132,5 juta orang pada 2016, tumbuh
pesat dari 2015 yang baru 88,1 juta orang. Hal itu tidak lepas dari kerja keras
para operator telekomunikasi yang memperluas jangkauan layanan mereka. Bersamaan
dengan itu, pemerintah juga mengeluarkan regulasi yang mendukung (Kompas, 20
Maret 2017, hal. 12). Akan tetapi seiring dengan gegap-gempita tumbuhnya
masyarakat jaringan ini, juga menyodorkan persoalan sosio-kultural seperti
kesenjangan digital. Dalam insitusi keluarga pun juga menyodorkan persoalan
kesenjangan antara generasi para orangtua yang masih disebut sebagai digital
immigrant dan generasi anak-cucunya yang disebut sebagai generasi digital
native.
Di Indonesia, target menjadi masyarakat informasi diarahkan pada
ukuran terhubungnya seluruh desa dalam jaringan teknologi komunikasi dan
informasi pada tahun 2015. Determinasi teknologi ini harus diwujudkan dalam
determinasi sosial, dimana masyarakat harus berdaya terhadap informasi. Konsep
masyarakat informasi tidak lagi mengarah seperti era media yang telah muncul
pada era industrial atau sering disebut the first media age dimana informasi
diproduksi terpusat (satu untuk banyak khalayak), arah komunikasi satu arah;
Negara mengontrol terhadap semua informasi yang beredar; reproduksi
stratifikasi sosial dan ketidakadilan melalui media; dan khalayak informasi
yang terfragmentasi. Akan tetapi masyarakat informasi yang berada pada the
second media age yang memiliki karakter informasi desentralistik; komunikasi
dua arah; kontrol Negara yang distributif; demokratisasi informasi; kesadaran
individual yang mengutama; dan adanya orientasi individual.
Luapan konten informasi dan teknologi yang memungkinkan untuk user
generated sebagaimana karakter media baru seperti munculnya blogs, website,
citizen journalism, atau pun digitalisasi yang memungkinkan semakin banyaknya
jumlah siaran televisi, radio, webcast, dan juga semakin mudahnya menerima
terpaan informasi dimana saja, menjadikan masyarakat memiliki kesempatan yang
sangat besar menjadi konsumen informasi. Era informasi seharusnya menjadikan
masyarakat menjadi prosumen, produsen sekaligus konsumen informasi.
Ciri utama masyarakat informasi adalah bahwa semua aktivitas
masyarakatnya berbasis pada pengetahuan. Oleh karena itu, dalam dunia di mana
informasi dan pengetahuan terus beredar, pemerintah bercita-cita untuk
membangun negara sebagai masyarakat yang berpengetahuan. Akan tetapi justru di
sinilah kemudian menimbulkan masalah, sebab perkembangan masyarakat di Indonesia
tidak linier dan homogen. Ada sebagaian masyarakat yang sudah berada dalam
tahap siap memasuki masyarakat informasi karena telah mempunyai basis
pengetahuan kuat dan menggunakannya sebagai dasar utama bagi aktivitasnya.
Sementara banyak juga warga masyarakat yang berakar kuat pada kultur agraris,
tradisional, penuh mistik, dan pandangan dunianya kurang mampu cepat
beradaptasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya
ketika pemerintah membangun infrastruktur ICT secara signifikan, sebagian besar
warga masyarakat kurang mampu memanfaatkan ICT untuk kepentingan yang
produktif, karena rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya
pengetahuan.
2. Implikasinya terhadap Pendidikan
Perubahan peradapan menuju masyarakat berpengetahuan (knowledge
society). menuntut masyarakat dunia untuk menguasai keterampilan abad 21 yaitu
mampu memahami dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT
Literacy Skills). Pendidikan memegang peranan sangat penting dan strategis
dalam membangun masyarakat berpengetahuan yang memiliki keterampilan: (1) melek
teknologi dan media; (2) melakukan komunikasi efektif; (3) berpikir kritis; (4)
memecahkan masalah; dan (5) berkolaborasi. Akan tetapi persoalan ICT Literacy
ini dalam masyarakt kita masih masalah mendasar bagi upaya menuju masyarakat
informasi. Rendahnya tingkat ICT Literacy, terutama pada masyarakat pedesaan
menjadi faktor signifikan terhadap menetapnya fenomena kesenjangan informasi di
Indonesia.
Mark Poster pada awal dekade sembilanpuluhan telah mempublikasikan
buku The Second Media Age, yang mengakabarkan datangnya periode baru yaitu
hadirnya teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, terutama sejak hadirnya
internet, yang akan mengubah masyarakat. Jadi sudah sejak awal, para akademisi
telah memprediksi bahwa kehadiran Internet akan mempunyai pengaruh
signifikan terhadap perubahan social. World Wide Web (www) adalah dunia yang
terbuka, fleksibel, dan merupakan lingkungan informasi yang dinamik, yang
membuat keberadaan manusia mampu mengembangkan orientasi baru terhadap ilmu
pengetahuan, dan mendorong lebih banyak berinteraksi, community-base, dunia
demokrasi yang saling memberdayakan. Internet mengembangkan tempat untuk
bertemu secara virtual yang memperluas jaringan social ke seluruh dunia,
menciptakan kemungkinan baru untuk pengetahuan, dan memberi peluang untuk
berbagi perspektif secara lebih luas.
Merespons perkembangan baru, yaitu era masyararakat informasional
dan komunikasional yang ditandai oleh kehadiran media baru, pemerintah dalam
pembangunan sektor pendidikan mengeluarkan kebijakan. Beberapa kebijakan
Kementerian Pendidikan Indonesia yang berisi pemanfaatan ICT dalam pembelajaran
sudah cukup lama hingga sekarang, termasuk penerapan Kurikulum 2013 juga
mendorong proses pembelajaran berbasis ICT, sehingga penetrasi media baru (new
media) dalam dunia pendidikan semakin intensif dan ekstensif. Terdapat
kesepakatan umum bahwa Information and Communication Technologies (ICT) adalah
baik untuk pengembangan dunia pendidikan. Bank Dunia mengarisbawahi bahwa para
pendidik dan para pengambil keputusan sepakat bahwa ICT merupakan hal yang
sangat penting bagi pengembangan masa depan pendidikan dalam era Melinium.
Teknologi ini, khususnya internet yang mampu membangun kemampuan jaringan informasi
dapat meningkatkan akses melalui belajar jarak jauh, membuka jaringan
pengetahuan bagi murid, melatih guru-guru, menyebarluaskan materi pendidikan
dengan kualitas standar, dan mendorong penguatan upaya efisiensi dan
efektivitas kebijakan administrasi pendidikan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyatakan pemanfaatan TIK dalam pendidikan melalui
Pendidikan Jarak Jauh bahwa “(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada
semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi
memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat
mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler, (3) Pendidikan jarak jauh
diselenggarakan dalam bentuk, modus dan cakupan yang didukung oleh
sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan
sesuai dengan standar nasional pendidikan. Jadi sistem pendidikan jarak jauh
telah menjadi suatu inovasi yang berarti dalam dunia pendidikan nasional.
Sistem pendidikan jarak jauh yang dimulai dengan generasi pertama korespondensi
(cetak), generasi kedua multimedia (Audio, VCD, DVD), generasi ketiga
pembelajaran jarak jauh (telekonferensi/TVe), generasi keempat pembelajaran
fleksibel (multimedia interaktif) dan generasi kelima e-Learning (web based
course), akhirnya generasi keenam pembelajaran mobile (koneksi nirkabel/www).
Seperti tercantum secara eksplisit dalam Rencana Strategis Departemen
Pendidikan Nasional 2005 – 2009, terlihat jelas bahwa TIK memainkan peran penting
dalam menunjang tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, yaitu:(1) perluasan
dan pemerataan akses; (2) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; dan (3)
penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan, untuk
mewujudkan pendidikan yang bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau
rakyat banyak. Dalam Renstra Depdiknas 2005 – 2009 dinyatakan peran strategis
TIK untuk pilar pertama, yaitu perluasan dan pemerataan akses pendidikan,
diprioritaskan sebagai media pembelajaran jarak jauh. Sedangkan untuk pilar
kedua, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, peran TIK diprioritaskan
untuk penerapan dalam pendidikan/proses pembelajaran. Terakhir, untuk penguatan
tata kelola, akuntabilitas dan citra publik, peran TIK diprioritaskan untuk
sistem informasi manajemen secara terintegrasi.1
Perubahan era yang kemudian mengubah karakter masyarakat secara
bertahap, menghadirkan realitas baru seperti masyarakat informasional dan
komunikasional juga berimplikasi terhadap perkembangan media, yang kemudian
dikenal sebagai media baru. Media baru yang berbasis internet dan web ini
beroperasi secara masif, ekstensif, dan intensif merasuk ke berbagai sektor
1 Dikutip dari Adie E. Yusuf, Pemanfaatan ICT dalam Pendidikan:
Kebijakan dan Standarisasi Mutu, diunduh dari
https://teknologikinerja.wordpress.com/2010/03/11/.
kehidupan, tidak terkecuali sektor pendidikan. Oleh karena itu
dapat dipahami jika pemerintah Indonesia mengantisipasi dan kemudian
menstransformasikan diri dengan mengeluarkan berbagai kebijakan pendidikan
berbasis TIK tersebut. Berbagai regulasi juga terus diciptakan guna mengikuti
kehadiran media baru ini.
Dengan hadirnya ICT dunia pendidikan bisa membawa dampak positif
apabila teknologi tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,
tetapi bisa menjadi masalah baru apabila lembaga pendidikan tidak siap. Untuk
itu, perlu dilakukan suatu kajian tentang dampak positif dan negatif dari
pemanfataan Teknologi Komunikasi dan Informasi (ICT) sebagai media komunikasi
untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Kurniawati et,al
(2005) menunjukan bahwa pada umumnya pendapat guru dan siswa tentang manfaat
ICT khususnya edukasi net antara lain : (1) Memudahkan guru dan siswa dalam
mencari sumber belajar alternative; (2 ) Bagi siswa dapat memperjelas materi
yang telah disampaikan oleh guru, karena disamping disertai gambar juga ada
animasi menarik; (3) Cara belajar lebih efisien; (4) Wawasan bertambah; (5)
Mengetahui dan mengikuti perkembangan materi dan info-info lain yang berhubungan
dengan bidang studi; dan (5) Membantu siswa melek ICT (Pujiriyanto, 2012).
Atas perubahan tersebut, maka dalam proses pembelajaran juga
sangat intensif terekspose (terpaan) oleh kehadiran media baru, dan ini
menyodorkan fenomena tentang mediatisasi pembelajaran. Masif, ekstensif, dan
intensifnya media baru dalam proses pembelajaran ini akhirnya juga mengubah
moda-moda belajar yang bergantung pada media. Fenomena baru inilah yang
kemudian dikenal sebagai mediatisasi pembelajaran, di mana media tampil begitu
kuat dan menentukan, dan akhirnya aktivitas pembelajaran bukan sekadar
memanfaatkan media akan tetapi lebih dari itu mengikuti logika media.
Kuatnya logika media itu kemudian membawa konsekuensi terhadap
perubahan pola dan moda belajar pada lembaga strategis seperti sekolah.
Misalnya, hubungan guru dan murid dan aktivitas belajarnya tidak lagi
bergantung pada satu sumber belajar yang tersedia di lingkungan sekolah, akan
tetapi juga mau tidak mau harus menerima kehadiran media baru berbasis internet
dan web ini sebagai sumber belajar. Karakter media baru sebagai penyedia konten
(isi) begitu besar dan bahkan
tidak terbatas jauh melebihi gudang pengetahuan yang disediakan
pada lingkungan sekolah. Aksesnya pun terbuka lebar karena tata kelola
informasinya sangat canggih dan sangat mudah dan cepat diakses oleh siswa dalam
aktivitas belajar. Sekarang ini pokok-pokok bahasan yang diajarkan guru pada
ruang kelas, akan dengan mudah dikonfirmasikan melalui google atau pun yahoo
yang begitu banyak dan mudah menyediakan informasi pengetahuan yang relevan
dengan pembelajaran di sekolah. Lebih dari itu, media baru juga menyediakan
aplikasi pembelajaran secara virtual yang mirip dengan pembelajaran di ruang
kelas pada setiap sekolah.
Akan tetapi, kehadiran media baru ini juga menghadirkan berbagai
persoalan yang berkait dengan perilaku belajar siswa dan sikap guru terhadap
maraknya pembelajaran digital ini. Sebut saja misalnya tentang sikap minimalis
dan pragmatisme belajar siswa yang sangat fenomenal seperti ketergantungan pada
google atau yahoo setiap kali menghadapi masalah atau pun penugasan dalam
pembelajaran di kelas. Sikap guru pun masih variatif dalam menghadapi hadirnya
media baru dan mediatisasi pembelajaran ini karena terkait kesenjangan
keterampilan dan pengetahuan tentang media baru, yang masuk dalam generasi
digital imigrant yang harus menghadapi murid yang masuk dalam kategori digital
native.
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
Nice artikel
BalasHapus